Home
»
Archives for
Februari 2017
Minggu, 19 Februari 2017
Sabtu, 18 Februari 2017
Jumat, 17 Februari 2017
Tetenger Mpu Bharada Kediri
Tetenger Mpu Bharada Kediri
Tetenger Mpu Bharada di Kediri adalah bangunan yang bentuknya menyerupai sebuah pura bergaya Bali yang berjarak sekitar 550 meter saja dari lokasi Pamuksan Sri Aji Joyoboyo di Kediri, Jawa Timur. Namun tetenger Mpu Bharada ini justru secara tidak sengaja terlihat ketika melewatinya setelah berkunjung ke Sendang Tirta Kamandanu.
Sebenarnya ketika pertama kali melihatnya saya tidak tahu pasti apa sebenarnya bangunan bergaya pura itu, namun tertarik dengan ornamen bangunannya yang indah. Setelah turun dari kendaraan lalu masuk ke dalam bangunan itu dan bertemu dengan penjaganya, dari orang itulah saya tahu bahwa bangunan itu dimaksudkan sebagai Tetenger Mpu Bharada.
Mpu Baharada adalah bungsu dari lima bersaudara, putera dari Mpu Lampita, pendeta Buddha yang mumpuni. Keempat kakaknya adalah Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, dan Mpu Kuturan. Jika kesemua kakaknya pergi ke Bali pada sekitar tahun 1000-an, maka Mpu Bharada tetap tinggal di Jawa. Ia mempunyai putra laki-laki bernama Mpu Bahula.

Sebuah arca terbuat dari batu gunung dengan raut wajah yang teduh ini saya jumpai di dalam kompleks Tetenger Mpu Bharada. Arca ini tampaknya merupakan penggambaran bagi wujud Mpu Bharada. Sang arca diletakkan dalam posisi berdiri di atas pondasi batu berbentuk silindris, yang berada di tengah sebuah kolam kecil berdenah segi empat.
Arca Mpu Bharada dikerjakan dengan halus. Ada ornamen penutup kepala elok, hiasan telinga, rambut ikal, tasbih di tangan kanan dan tangan kirinya memegang suatu benda, mungkin kendi. Meski Mpu Bharada beragama Buddha, namun ia menjadi guru sekaligus penasehat terpercaya Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan yang menganut agama Hindu.
Penampakan bangunan Meru yang berada di dalam kompleks Tetenger Mpu Bharada. Meru adalah tempat pemujaan untuk Istadewata, bhatara-bhatari yang melambangkan gunung Mahameru, gunung suci sebagai istana para dewa dan roh suci leluhur. Di bagian depannya terdapat dua arca naga dan raseksi dengan mata besar dan gigi bertaring tajam.
Atap Meru ini dibuat bertingkat lima. Bagian puncak berbentuk segi empat dengan bagian atas sedikit melebar. Jumlah atap Meru biasanya ganjil, yang melambangkan patalaning bhuwana dan pangalukuan dasaksara. Bagian disebut bebaturan, bagian kedua di atas bebaturan disebut gedong, dan bagian ketiga atap atau kereb yang bertingkat-tingkat.

Di bagian lain yang berdekatan terdapat susunan batu gunung bertumpuk yang menyerupai sebuah altar pemujaan. Di bagian puncaknya terdapat batu cukup besar yang meruncing di bagian atas dengan relief berupa tulisan empat baris huruf tradisional Jawa Bali. Pada meja batu di tengah terdapat batu silindris berlubang untuk meletakkan batang hio.
Pemandangan pada gapura paduraksa pada Tetenger Mpu Bharada Kediri yang berbentuk persegi dengan ornamen dedaunan pada dindingnya. Gapura paduraksa adalah bentuk gapura yang bagian atasnya menyatu, sedangkan jika terpisah disebut candi bentar. Pohon kamboja yang tengah berbunga ikut memperindah kompleks Tetenger Mpu Bharada ini.
Nama Mpu Bharada disebut dalam Serat Calon Arang sebagai tokoh yang dengan siasatnya berhasil mengalahkan Calon Arang, seorang janda sakti dari Desa Girah yang secara telengas menebar teluh dan menimbulkan banyak korban di kalangan rakyat banyak. Mungkin karena itu di Kediri juga ada tempat yang disebut Petilasan Calon Arang.
Adalah Mpu Bharada yang ditugaskan Airlangga untuk membagi Kahuripan menjadi Janggala dan Kadiri sebelum lengser menjadi pendeta, lantaran puteri mahkota Dewi Kilisuci memilih menyepi di Gua Selomangleng. Mpu Tantular, penyusun Kakawin Sutasoma di mana di dalamnya tercantum frasa “Bhinneka Tunggal Ika”, adalah cucu dari Mpu Bharada.
Tetenger Mpu Bharada Kediri
Alamat: Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Lokasi GPS: -7.77657, 112.07768. Tempat Wisata di Kediri, Peta Wisata Kediri,
Kamis, 16 Februari 2017
SITUS SEMEN DI KAB. KEDIRI
Pada tanggal 18 November 2009 di desa Semen Kec. Pagu - Kab. Kediri telah ditemukan peninggalan sejarah , letaknya tak jauh dari petilasan Sri Aji Joyobhoyo. Peninggalan Sejarah itu dinamakan Situs Semen.Situs ini berupa 2 arca jaladwara , Garuda wisnu kencana ( dewa Wisnu naik Garuda ) yang merupakan wujud pendewaan Raja Airlangga, dan beberapa tembikar.
Ketika saya berkunjung di situs ini , saya banyak sekali bertanya pada Juru kunci tempat ini ,sebut saja namanya Mbah Yudi.Dari beliau saya banyak sekali mendapatkan keterangan tentang situs semen ini , baik itu sejarahnya maupun fenomena ghoibnya, namun mengenai fenomena ghoib yang beliau ceritakan tidaklah saya angkat pada tulisan singkat ini.
Pada malam jum'at pahing , saya dan kawan - kawan mencoba berkunjung ke tempat ini setelah sebelumnya berziarah di petilasan sri Aji joyobhoyo dan petilasan Resi Mayangkoro, karna saat itu kita memang penasaran sekali tentang keberadaan situs tersebut yang baru ditemukan oleh warga. Dengan mengucapkan salam pada Juru kunci dan pengunjung tempat tersebut , kemudian duduk di tempat yang telah disediakan lalu sembari menghisap rokok saya melontarkan beberapa pertanyaan kepada Mbah yudi selaku juru kunci situs semen ini. Dengan bahasa jawa halus , beliau menerangkan beberapa hal yang berkaitan dengan situs ini.
Setelah BP3 menemukan keramik masa Dinasti Yuan di sekitar situs, BP3 memastikan bahwa Situs Semen merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa situs ini berusia jauh lebih tua dari Majapahit dan terus digunakan hingga pada masa majapahit. Hal ini lumrah terjadi dan contohnya bisa kita lihat pada Candi Gurah dan Candi Tondowongso, Candi Penataran serta Candi Brahu.
Lokasi situs semen kini banyak dimanfaatkan masyarakat yang inginngalap berkah dari keberadaan bangunan situs.Dan hal ini bisa kita lihat sendiri bila kita berkunjung ke sana.
Rabu, 15 Februari 2017
Petilasan Calon Arang Kediri
Petilasan Calon Arang Kediri
Lokasi Petilasan Calon Arang kami ‘temukan’ setelah sempat tersesat beberapa kali karena terbatasnya informasi yang tersedia. Adalah karena kegigihan usaha Sanusi, seorang teman yang menemani kami selama berkeliling di daerah Kediri, Jawa Timur, maka situs Petilasan Calon Arang ini akhirnya bisa juga kami datangi.

Kami pun berjalan kaki sejauh 400 meter lagi di bawah terik matahari Kediri, melewati tanggul dan pematang, ditemani seorang penduduk setempat bernama Pak Sunyono yang datang berjalan kaki dan menyapa ketika kami masih termangu di mobil mereka-reka arah ke lokasi Petilasan Calon Arang.
Gerumbul pepohonan di tengah ladang itu adalah tempat dimana Petilasan Calon Arang berada, dan di latar depan kanan adalah sebagian pematang yang kami lewati untuk sampai ke lokasi Petilasan Calon Arang. Lokasinya memang tidak ideal, panas atau hujan sama-sama merepotkan.
Di area Petilasan Calon Arang ini terdapat dua buah batu andesit datar yang diduga merupakan umpak dengan dedaunan dan bunga kanthil sesaji tertebar di atasnya. Sebuah anglo tembikar pembakaran dupa berada di depan batu altar Petilasan Calon Arang ini, di bagian kiri terdapat sebuah Yoni dan di sebelah kanan teronggok Lingga.
Sebuah batu berbentuk limas terpancung dalam posisi terbalik, teronggok di bawah sebuah pohon di salah satu sisiPetilasan Calon Arang. Di lokasi Petilasan Calon Arang ini terdapat empat buah batu seperti ini dengan ukuran yang hampir sama, dan diduga merupakan umpak (alas pilar) bangunan.
Pak Sunyono yang menjadi penunjuk jalan ke situs Petilasan Calon Arang ini, dengan pakaiannya yang sederhana. Menurutnya Petilasan Calon Arang ini sering dikunjungi orang dari sekitar Kediri maupun dari daerah lain, dari yang sekadar ingin tahu, sampai yang ingin mengalap berkah untuk kaya, sakti, cantik, dan lain sebagainya.
Ketika saya bertanya bagaimana sampai orang percaya bahwa tempat itu merupakan Petilasan Calon Arang, jawab Pak Sunyono tidaklah terlalu jelas dan tak tegas. Yang ia tahu persis adalah bahwa sejak ia kecil tempat itu sudah ada, dan dikenal penduduk sebagai makam atau petilasan mBah Enuk, seorang janda.
Mungkin karena kata janda itu lalu petilasan ini dikaitkan dengan nama janda Calon Arang, yang bermukim di Desa Girah. Konon nama tempat yang sekarang menjadi Kecamatan Gurah ini, memang sebelumnya bernama Desa Girah. Entah memang benar demikian adanya, entah hanya agar ceritanya bisa sambung.
Situs utama di Petilasan Calon Arang. Siang itu, hanya ada satu rombongan kecil yang berkunjung ke Petilasan Calon Arang. Selain mungkin karena hari yang sangat panas dan bulan puasa pula, Petilasan Calon Arang memang kabarnya baru ramai dikunjungi oleh peziarah pengalap berkah pada hari-hari Kliwonan, dan setiap tanggal 1 Suro.
Meskipun tampaknya keberadaan Petilasan Calon Arang ini hanya berasal dari cerita penduduk setempat, tanpa ditopang oleh temuan prasasti yang mendukungnya, namun kabarnya ada keinginan membangun area Petilasan Calon Arang oleh orang asal Bali. Mungkin hubungannya dengan kepercayaan bahwa Calon Arang adalah putri seorang raja Bali yang diasingkan.
Ada beberapa versi kisah Calon Arang yang beredar di tengah masyarakat Jawa dan Bali, dari yang memberi gambaran hitam putih sebagai tukang sihir jahat yang menebar teluh karena anaknya tidak ada yang melamar, sampai pada penggambaran Calon Arang yang lebih berimbang dimana pada akhirnya ia dimurnikan jiwanya, dihilangkan rintangannya dan jiwanya masuk ke surga.
Bagaimana pun ada perasaan senang karena sudah berkunjung ke Petilasan Calon Arang di Kediri ini, yang bisa terjadi berkat kegigihan Sanusi untuk mencari informasinya, meski harus tersesat beberapa kali. Kisah Calon Arang menjadi bagian sejarah yang bisa menjadi inspirasi, dan petilasan ini membantu orang untuk mengingatnya.
Foto Petilasan Calon Arang Kediri selengkapnya: 4.Jalan Petilasan 5.mBah Enuk 6.Yoni 7.Umpak 8.Lingga 9.Batu Lekuk 10.Batu Andesit 11.Gerumbul 12.Area Petilasan
Petilasan Calon Arang
Alamat: Dukuh Butuh, Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kediri, Jawa Timur. Pak Sunyono (Pak No), HP 08133 5108 8327. Lokasi GPS: -7.79706, 112.09029. Tempat Wisata di Kediri, Peta Wisata Kediri, Hotel di Kediri
ARCA TOTOK KEROT - Legenda Putri Cantik Dari Kerajaan Lodaya
Arca Totok Kerot Pagu, Kediri, Jawa Timur - merupakan patung raksasa Dwarapala dengan tinggi sekitar 3 meter. Arca ini merupakan sebuah peninggalan sejarah masa lalu dari kerajaan Pamenang Kediri dengan ciri-ciri adanya hiasan Candrakapala, berupa tengkorak bertaring diatas bulan sabit. Hiasan Candrakapala merupakan lambang dari Kerajaan Kediri dan hiasan ini terletak di atas kepala Arca Totok Kerot. Kemungkinan, Arca Totok Kerot ini merupakan pintu gerbang sebelah barat istana kerajaan Kediri atau bisa juga merupakan pintu masuk ke sebuah candi. Belum ada penjelasan pasti tentang hal tersebut karena belum pernah dilakukannya penggalian disekitar arca.
![]() |
Arca Totok Kerot |
Ada sebuah legenda yang melekat di Arca Totok Kerot ini. Dikisahkan dalam sebuah cerita rakyat yang terkenal di Kediri bahwa sebenarnya Totok Kerot tersebut adalah penjelmaan puteri cantik dari seorang demang di Lodaya (Lodoyo) Blitar. Yang ingin diperistri oleh Sri Aji Jayabaya. Karena tak mendapatkan restu orang tua, sang puteri nekat datang ke Kediri dan terlibat peperangan dengan pasukan dari Kerajaan Kediri, dimana diceritakan kemenangan akhirnya berpihak kepada sang putri tersebut dan sebagai tuntutan atas kemenangannya, sang puteri berkeras ingin ditemui oleh Prabu Sri Aji Jayabaya, dan apabila keinginan tersebut tak dikabulkan putri tersebut akan berbuat onar.
Tuntutan sang puteri tersebut akhirnya di kabulkan oleh Prabu Jayabaya, dimana saat berhasil bertemu dengan Sri Aji Jayabaya dia kembali menyampaikan keinginannya untuk dipersunting. Akan tetapi Prabu Sri Aji Jayabaya Tetap menolak keinginan sang puteri dan terjadi perang tanding diantara keduanya. Setelah sang puteri terdesak, Prabu Sri Aji Jayabaya mengeluarkan sabda dengan menyebut sang puteri memiliki kelakuan seperti buto (raksasa), Dan hingga akhirnya terwujudlah sebuah arca raksasa.
Selain itu ada legenda lain juga yang yang menceritakan tentang Arca Totok Kerot. Legenda ini masih berkesinambungan dengan legenda diatas, bahkan lebih heboh daripada legenda berpindahnya Arca Ganesha Boro. Diceritakan bahwa Arca Totok Kerot pernah dipindah dari tempat asalnya dan diletakkan di Alun – Alun Kota Kediri. Namun dalam waktu satu malam, Arca Totok Kerot tidak betah akan tempat barunya. Arca Totok Kerot mulai menyusun rencana melarikan diri. Dan pada tengah malam tiba- tiba saja berkumpul dua ekor gajah dan tujuh ekor sapi di alun-alun. Kesembilan hewan itupun menarik Arca Totok Kerot menuju Dusun Bulupasar, tempat asal sang arca. Karena Arca Totok Kerot teramat sangat berat, hanya beberapa meter saja, kesembilan hewan tersebut tidak kuat menarik arca dan meninggal karena kecapaian.
Pada Pagi harinya, melihat Arca Totok Kerot telah berpindah tempat dan ada hewan-hewan tak bernyawa disekitarnya, akhirnya pemerintah Kediri memutuskan untuk mengembalikan lagi ke tempat asalnya. Legenda ini dipercaya terjadi sekitar tahun 80’an, berselang beberapa tahun semenjak Arca Totok Kerot diketemukan.
Selasa, 14 Februari 2017
Sendang Kamulyan < Sendang Tirto Kaman Danu>
Sendang Kamulyan
Kediri - Lazimnya bangunan kerajaan, Kediri juga dilengkapi dengan patirtan yang dalam masanya juga difungsikan sebagai kaputren atau tempat bermain putri-putri raja. Salah satu peninggalan Kerajaan Kediri ini diyakini airnya bisa menyembuhkan segala macam penyakit.
Salah satu peninggalan berupa patirtan dari Kerajaan Kediri dapat dijumpai di Sendang Kamandanu, yang juga berlokasi di Desa Menang, Kecamatan Pagu, tepatnya sekitar 200 meter sebelah utara Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Tidak diketahui secara persis tahun penemuannya, namun saat ini sudah dibangun sebagai salah satu objek wisata, dimana prosesnya juga selesai pada tahun 1983 silam.
Supoyo, juru kunci Sendang Kamandanu mengatakan, lokasi yang dijaganya konon adalah patirtan yang menjadi lokasi bermain putri Sri Aji Jayabaya. Untuk saat ini airnya
banyak digunakan sebagai sarana bersuci, bagi siapa saja yang akan berziarah ke
Pamuksan Sri Aji Jayabaya.
\\\"Ini satu paket. Biasanya yang akan ke Pamuksan ya kesini dulu, baik mandi atau sekedar cuci kaki dan tangan,\\\" ungkap Supoyo
Karena dianggap satu paket dengan Pamuksan Sri Aji Jayabaya,Sendang Kamandanu juga tercatat pernah dikunjungi orang-orang penting di negeri ini. Bahkan kedatangan tersebut terkadang tak hanya mandi, tetapi juga untuk mengambil air di dalamnya untuk dibawa pulang dengan tujuan tertentu.
\\\"Kalau airnya sama saja dengan air biasa. Tapi yang namanya mempercayai kan boleh saja, dan memang kalau meyakini biasanya akan mujarab,\\\" sambung Supoyo.
Diluar faktor mistis di Sendang Kamandanu yang menjadikan airnya diyakini mengandung manfaat, Supoyo mengungkapkan, di sekeliling bangunan tersebut berdiri sejumlah tanaman yang bisa menjadi sumber pengobatan. Diantaranya pohon akar pule, adhem ati dan mengkudu.
\\\"Nah dari sini kan airnya memang bisa dikatakan berkhasiat sebagai obat. Disini akar-akarnya pohon itu secara langsung bersentuhan dengan sumber air,\\\" tambahnya jelas.
Supoyo, lelaki bertumbuh tambun dengan jenggot yang dibiarkan memanjang tersebut juga mengatakan, kompleks Pamuksan Sri Aji Jaya dan Sendang Kamandanu yang berlokasi di Desa Menang diyakini memiliki daya magis yang kuat karena singkatan namanya. Jayabaya konon dapat diartikan, Yen Pengen Joyo Ing Pamenang, Yen Pengen Ngilangi Beboyo Ing Pamenang<\/em>. (Jika ingin jaya ya dimulai di Pamenang, dan jika ingin menghilangkan mara bahaya juga dapat mendatangi Pamenang).
\\\"Makanya orang-orang penting itu datang kesini, karena memang disinilai punjer (pusatnya). Pak Bibit (Samad Rianto) saja kalau pulang ke Kediri, hampir pasti datang kesini,\\\" tegas Supoyo.
Kediri - Lazimnya bangunan kerajaan, Kediri juga dilengkapi dengan patirtan yang dalam masanya juga difungsikan sebagai kaputren atau tempat bermain putri-putri raja. Salah satu peninggalan Kerajaan Kediri ini diyakini airnya bisa menyembuhkan segala macam penyakit.
Salah satu peninggalan berupa patirtan dari Kerajaan Kediri dapat dijumpai di Sendang Kamandanu, yang juga berlokasi di Desa Menang, Kecamatan Pagu, tepatnya sekitar 200 meter sebelah utara Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Tidak diketahui secara persis tahun penemuannya, namun saat ini sudah dibangun sebagai salah satu objek wisata, dimana prosesnya juga selesai pada tahun 1983 silam.
Supoyo, juru kunci Sendang Kamandanu mengatakan, lokasi yang dijaganya konon adalah patirtan yang menjadi lokasi bermain putri Sri Aji Jayabaya. Untuk saat ini airnya
banyak digunakan sebagai sarana bersuci, bagi siapa saja yang akan berziarah ke
Pamuksan Sri Aji Jayabaya.
\\\"Ini satu paket. Biasanya yang akan ke Pamuksan ya kesini dulu, baik mandi atau sekedar cuci kaki dan tangan,\\\" ungkap Supoyo
Karena dianggap satu paket dengan Pamuksan Sri Aji Jayabaya,Sendang Kamandanu juga tercatat pernah dikunjungi orang-orang penting di negeri ini. Bahkan kedatangan tersebut terkadang tak hanya mandi, tetapi juga untuk mengambil air di dalamnya untuk dibawa pulang dengan tujuan tertentu.
\\\"Kalau airnya sama saja dengan air biasa. Tapi yang namanya mempercayai kan boleh saja, dan memang kalau meyakini biasanya akan mujarab,\\\" sambung Supoyo.
Diluar faktor mistis di Sendang Kamandanu yang menjadikan airnya diyakini mengandung manfaat, Supoyo mengungkapkan, di sekeliling bangunan tersebut berdiri sejumlah tanaman yang bisa menjadi sumber pengobatan. Diantaranya pohon akar pule, adhem ati dan mengkudu.
\\\"Nah dari sini kan airnya memang bisa dikatakan berkhasiat sebagai obat. Disini akar-akarnya pohon itu secara langsung bersentuhan dengan sumber air,\\\" tambahnya jelas.
Supoyo, lelaki bertumbuh tambun dengan jenggot yang dibiarkan memanjang tersebut juga mengatakan, kompleks Pamuksan Sri Aji Jaya dan Sendang Kamandanu yang berlokasi di Desa Menang diyakini memiliki daya magis yang kuat karena singkatan namanya. Jayabaya konon dapat diartikan, Yen Pengen Joyo Ing Pamenang, Yen Pengen Ngilangi Beboyo Ing Pamenang<\/em>. (Jika ingin jaya ya dimulai di Pamenang, dan jika ingin menghilangkan mara bahaya juga dapat mendatangi Pamenang).
\\\"Makanya orang-orang penting itu datang kesini, karena memang disinilai punjer (pusatnya). Pak Bibit (Samad Rianto) saja kalau pulang ke Kediri, hampir pasti datang kesini,\\\" tegas Supoyo.
Senin, 13 Februari 2017
LEGENDA PETILASAN SANG PRABU SRI AJI JOYOBOYO
LEGENDA PETILASAN SANG PRABU SRI AJI JOYOBOYO
Joyoboyo merupakan sosok yang terkenal sebagai seorang raja pada zaman Kerajaan Kediri. Ia terkenal karena Kerajaan Kediri mencapai masa kejayaan pada zaman pemerintahan Joyoboyo yaitu pada tahun 1135-1157 Ma¬sehi. Selain menjadi seorang raja, Joyoboyo juga dikenal sebagai seorang yang sakti. Ia dipercaya memiliki kejernihan batin sehingga Ia mampu memperkirakan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Ramalan-ramalan ini diwujudkan dalam kitabnya yang terkenal yaitu Jangka Jayabaya.
Meskipun demikian, masyarakat banyak yang kurang tahu mengenai Legenda Petilasan Sri Aji Joyoboyo. Petilasan ini terletak di Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Legenda merupakan salah satu bentuk karya sastra lisan yang harus dilestarikan. Legenda Petilasan Joyoboyo ini merupakan warisan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Kediri, terutama bagi masyarakat Menang.
Petilasan berasal dari istilah Jawa yaitu kata dasar tilas yang berarti bekas. Petilasan merupakan suatu tempat yang pernah disinggahi atau didiami oleh seseorang yang dianggap penting. Pada umumnya, yang disebut sebagai petilasan adalah tempat tinggal, tempat beristirahat (dalam pengembaraan yang relatif lama), tempat pertapaan, atau tempat terjadinya peristiwa penting.
Semasa hidupnya, Raja Joyoboyo memiliki seorang permaisuri yang bernama Dewi Sara. Dari hasil perkawinannya, Raja Joyoboyo memiliki tiga orang putri dan seorang putra. Tiga orang putri tersebut adalah Dewi Pramesti, Dewi Pramuna, Dewi Sasanti, dan seorang putra bernama Raden Jayaamijaya. Namun, pada saat ketiga putrinya telah dewasa dan menikah. Mereka bertiga diceraikan dan menjadi janda. Padahal, saat Dewi Pramasti diceraikan, ia sedang hamil.
Pada masa kehamilan Dewi Pramasti yang telah mencapai sembilan bulan, Dewi Pramasti tidak juga melahirkan. Ia malah terus menerus kesakitan selama tujuh hari tujuh malam. Melihat keadaan putrinya yang demikian, maka Raja Joyoboyo dan istrinya memohon petunjuk dewata. Waktu itu, Raja Joyoboyo mendapat bisikan bahwa Ia harus melepaskan kedudukannya sebagai titisan Batara Wisnu. Demi cucu dan mengingat bahwa usianya telah semakin lanjut, maka ia segera ngraga sukma yaitu melepaskan sukma sebagai titisan Dewa Wisnu.
Tidak lama kemudian lahirlah seorang putra yang diberi nama Anglingdarma. Lahirnya Anglingdarma ditandai dengan suasana alam yang benar-benar menakutkan. Kilat sambung menyambung, hari gelap gulita dan gempa pun menggoncang bumi. Seolah dunia akan berakhir saat itu juga. Melihat keadaan tersebut, Raja Joyoboyo memanggil seluruh perwira dan kerabat keraton. Beliau mengumumkan tentang kelahiran Anglingdarma. Dari tubuh Anglingdarma tampak sinar (cahaya) terang memancar. Tapi bersamaan dengan itu pula para perwira dan kerabat kaget. Raja Joyoboyo muksa, kembali ke alam kelanggengan.
Petilasan Sri Aji Joyoboyo dibagi menjadi dua tempat yaitu Pamuksan Joyoboyo dan Sendang Tirtokamandanu. Meskipun terdiri dari dua tempat yang terpisah, tetapi merupakan satu kesatuan. Sebelum memasuki Petilasan Sri Aji Joyoboyo, kita akan melewati tiga pintu. Dalam hal ini, masyarakat Jawa percaya jika manusia pasti mengalami tiga alam kehidupan, yaitu alam kandungan, alam nyata, dan alam sukma atau alam akhirat.
Sesuai dengan asal katanya, pamuksan dapat diartikan sebagai tempat muksa dari Prabu Joyoboyo. Menurut legenda yang ada, Joyoboyo tidak dikatakan meninggal tetapi Ia muksa yaitu menghilang bersama jasadnya. Dalam pamuksan ni terdapat loka muksa, loka busana dan loka makuta. Masyarakat percaya terhadap hal tersebut, karena sampai sekarang jasad Joyoboyo tidak diketemukan.
Pamuksan Sri Aji Joyoboyo dipugar pada 22 Februari 1975 dan diresmikan pada 17 April 1976. Loka muksa yaitu tempat muksanya Prabu Joyoboyo. Loka busana adalah tempat busana dari Prabu Joyoboyo, sedang¬kan loka makuta adalah tempat mahkotanya.
Sedangkan Sendang Tirtokamandanu merupakan sendang yang dipakai oleh Joyoboyo sebelum Ia muksa. Tirto berarti air dan kamandanu berarti kehi¬dupan. Jadi Tirtokamandanu dapat diartikan sebagai air kehidupan. Dalam hal ini adalah hidup kembali menjadi seseorang yang suci. Masyarakat percaya air sendang tersebut mampu mensucikan. Oleh sebab itu, sebelum masyarakat berdoa meminta berkah mereka akan mandi di sendang terlebih dahulu. Sendang Tirtokamandanu dipugar
pada tahun 1982. Pemugaran ini diprakarsai oleh Keluarga Besar Hondodenta, Keraton Jogjakarta, yang dikoordinir oleh Sri Sultan HamengkuBuwono VI.
Mengingat bahwa Joyoboyo adalah tokoh yang sakti, maka banyak masyarakat yang datang ke petilasan untuk meminta berkah. Tidak hanya terbatas pada warga sekitar saja tetapi juga masyarakat luar Kediri. Bagi masyarakat, ter¬da¬¬¬¬pat empat tempat yang dianggap sakral yaitu loka muksa, loka busana, loka makuta, dan sendang tirtokamandanu. Loka muksa dianggap sebagai tempat muksanya Prabu Joyoboyo. Loka busana merupakan tempat busana. Loka makuta berarti tempat mahkota. Sedangkan sendang tirtokamandanu merupakan pe¬mandian yang digunakan oleh Joyoboyo sebelum Ia muksa.
Selain dianggap sebagai tokoh yang sakti, Joyoboyo merupakan leluhur dari masyarakat Kediri. Oleh karena itu kepercayaan masyarakat terhadap peti¬lasan pun masih sangat tinggi. Masyarakat selalu menyelenggarakan upacara adat atau ritual khusus sebagai bentuk kepercayaan masyarakat terhadap petilasan. Ritual ini dilaksanakan setiap tanggal 1 Muharam atau 1 Suro. Dalam upacara ini biasanya berupa arak-arakan yang dimulai dari balai desa Menang menuju ke loka muksa lalu berakhir di sendang Tirtokamandanu.
Selain sebagai salah satu bentuk sastra lisan, legenda petilasan ini juga sebagai warisan budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Tidak hanya sebagai aset bagi warga masyarakat Menang saja karena telah dipotensikan sebagai tempat wisata daerah Menang, tetapi juga bagi bangsa Indonesia karena legenda adalah salah satu bentuk khasanan budaya bangsa Indonesia yang harus dilestarikan.
Kediri Tempo Dulu
![]() |
Gerbang Kediri Minggiran |
![]() |
Masjid Agung |
![]() |
Alun-alun House of Resident |
![]() |
Rumah Bupati Kediri 1930 |
![]() |
Alun-alun 1938 |
![]() |
Klenteng |
![]() |
Pertigaan Stasiun |
![]() |
Stasiun 1910 |
![]() |
Stasiun 1892 |
Stasiun 1900 |
![]() |
Societes Brantas |
![]() |
Societes Brantas |
![]() |
Pertigaan Jembatan Lama |
![]() |
Pertigaan Jambatan Lama |
![]() |
Jembatan Lama 1955 |
Jembatan Lama 1900 |
![]() |
Proliman Gumul |
Alun-alun |
![]() |
Pabrik Gula Minggiran |
![]() |
Pasar Pahing 1930 |
![]() |
Pasar Pahing |
Kantor Pos
![]() |
Wates |
![]() |
Kediri |
![]() |
Purwoasri |
![]() |
Pare |
![]() |
Papar |
![]() |
Ngadiluwih |
![]() |
Minggiran |
![]() |
Kandangan |
![]() |
Gurah |
![]() |
Keras |
Langganan:
Postingan
(
Atom
)